BekisarMedia.id — Banyak yang masih membayangkan widyaiswara sebagai sosok yang berdiri di depan kelas, menjelaskan materi, dan memberikan tugas. Gambaran itu kini perlahan memudar. Dunia pelatihan Aparatur Sipil Negara (ASN) sedang bergerak ke arah yang lebih dinamis.
Tantangan birokrasi modern menuntut perubahan mendasar, termasuk dalam cara belajar dan mengajar. Di sinilah widyaiswara hadir dengan peran yang lebih strategis, menjadi fasilitator inovasi yang membimbing ASN merancang perubahan nyata dan berdampak bagi pelayanan publik.
Di tengah arus perubahan yang cepat dan kompleks dalam birokrasi pemerintahan, peran ASN erus berkembang. Tidak hanya dituntut kompeten secara teknis, ASN juga harus adaptif, inovatif, dan mampu menjawab kebutuhan publik yang kian dinamis.
Dalam konteks ini, peran widyaiswara yang selama ini dikenal sebagai instruktur atau pengajar di lingkungan pelatihan ASN, mengalami reposisi yang signifikan. Mereka tidak lagi sekadar penyampai materi, tetapi bertransformasi menjadi fasilitator inovasi, agen perubahan, dan mitra strategis dalam pengembangan sumber daya manusia di sektor publik.
Reposisi ini bukan sekadar pergeseran istilah. Ia adalah respons terhadap kebutuhan baru dalam sistem pelatihan dan pengembangan kompetensi ASN. Model pembelajaran satu arah yang menempatkan widyaiswara sebagai pusat informasi kini tak lagi memadai. Dunia kerja menuntut pembelajaran yang kolaboratif, partisipatif, dan kontekstual, di sinilah peran baru widyaiswara mulai ditata.
Selama ini, pelatihan ASN identik dengan ruang kelas formal, presentasi power point, dan modul-modul baku. Widyaiswara menjadi sumber kebenaran tunggal yang memberikan teori, prosedur, hingga contoh kasus. Namun, paradigma ini mulai bergeser. Pengembangan kompetensi tidak lagi cukup hanya dengan mengandalkan ceramah. Kini, pemberdayaan menjadi kata kunci.
Sebagai fasilitator inovasi, widyaiswara berperan mengarahkan peserta pelatihan untuk menemukan solusi atas masalah nyata di unit kerja mereka. Pendekatannya lebih bersifat problem-based learning dan experiential learning. Widyaiswara mendorong peserta untuk menganalisis, berdiskusi, memetakan tantangan, hingga merancang inovasi pelayanan publik berbasis data dan kebutuhan riil masyarakat.
Dengan kata lain, mereka menggeser pusat pembelajaran dari “apa yang diajarkan” menjadi “apa yang dipelajari”. Proses pembelajaran menjadi dialogis, reflektif, dan transformatif. Widyaiswara bukan lagi “guru” dalam pengertian klasik, melainkan co-creator pengetahuan bersama peserta.
Transformasi peran widyaiswara juga erat kaitannya dengan penguatan budaya inovasi di sektor publik. Dalam birokrasi yang seringkali terjebak pada rutinitas dan prosedur, kehadiran widyaiswara sebagai fasilitator inovasi menjadi krusial. Mereka bukan hanya membimbing peserta membuat proyek perubahan (seperti dalam pelatihan kepemimpinan), tetapi juga menanamkan cara berpikir kreatif, agile, dan solutif.
Di berbagai Balai Diklat atau BPSDM di Indonesia, sudah mulai terlihat bagaimana widyaiswara memfasilitasi laboratorium inovasi daerah. Mereka mendorong ASN dari berbagai instansi untuk duduk bersama, menyusun ide perubahan, menyusun prototipe, hingga mengimplementasikannya dalam pelayanan publik. Dalam proses ini, widyaiswara berperan sebagai pendamping yang menstimulus pemikiran kritis dan kolaborasi lintas sektoral.
Pendekatan semacam ini, menciptakan efek berantai. Inovasi yang lahir dari pelatihan, tidak hanya berhenti di ruang kelas, tetapi menyebar ke organisasi. Widyaiswara menjadi katalisator, yang tidak hanya membekali kompetensi teknis, tetapi juga membangun semangat transformasi dalam diri ASN.
Ayo, Menata Kompetensi dan Peran Baru
Reposisi peran ini tentu harus dibarengi dengan penataan ulang kompetensi widyaiswara itu sendiri. Mereka harus memiliki kapasitas pedagogis yang lebih fleksibel, keterampilan fasilitasi yang kuat, pemahaman tentang inovasi dan digitalisasi, serta kepekaan terhadap isu-isu aktual pemerintahan dan pelayanan publik.
Peran ini juga menuntut widyaiswara untuk terus belajar. Mereka tidak bisa stagnan dalam zona nyaman sebagai pengajar. Literasi teknologi, riset tindakan, kemampuan mendesain pembelajaran adaptif, dan keahlian membimbing peserta membuat proyek perubahan menjadi bagian dari kompetensi wajib. Dalam banyak hal, widyaiswara harus menjadi role model ASN yang berpikir strategis, visioner, dan terbuka terhadap pembaruan.
Sebagai fasilitator inovasi, mereka juga dituntut untuk memperluas jejaring, bekerja sama dengan instansi lain, akademisi, praktisi, hingga masyarakat sipil. Kemampuan membangun ekosistem pembelajaran yang inklusif menjadi kunci keberhasilan dalam menjalankan peran baru ini.
Transformasi peran widyaiswara tidak dapat terjadi begitu saja tanpa dukungan sistemik. Kementerian/lembaga, pemerintah daerah, serta lembaga pelatihan harus menyusun kebijakan yang mendorong dan mengapresiasi peran baru ini. Misalnya, melalui penyusunan standar kompetensi baru, penyediaan pelatihan peningkatan kapasitas, insentif berbasis kinerja inovatif, hingga sistem penilaian kinerja yang menekankan kontribusi terhadap peningkatan mutu ASN.
Peran widyaiswara sejatinya merupakan bagian dari gerakan besar menuju ASN yang terus belajar (continuous learning) dan mampu berinovasi secara berkelanjutan. Dunia birokrasi bukan lagi dunia yang kaku dan tertutup, melainkan ruang yang terbuka untuk gagasan baru, kolaborasi lintas sektor, dan solusi adaptif.
Di balik proses transformasi itu, widyaiswara memainkan peran kunci. Mereka bukan lagi hanya instruktur yang menyampaikan materi, tetapi fasilitator yang menyemai inovasi. Perubahan ini tidak hanya menuntut kemampuan baru, tetapi juga semangat baru, semangat untuk terus bergerak, tumbuh, dan menginspirasi.
Dalam perjalanannya, widyaiswara bukan hanya mendidik, tetapi membentuk masa depan ASN yang siap menghadapi tantangan zaman. Di tangan mereka, pelatihan bukan sekadar kewajiban birokrasi, tetapi menjadi pintu gerbang menuju birokrasi yang profesional, adaptif, dan berorientasi pada hasil. Inilah esensi reposisi peran yang sesungguhnya: dari instruktur ke fasilitator inovasi.
Ditulis oleh Dr. Mery Fanada, Pengamat Pendidikan dan Widyaiswara BPSDM Provinsi Sumatera Selatan.